Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat Indonesia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba.
Franchise sendiri berasal dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Pengertian Franchising (Pewaralabaan) sendiri adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa (Informasi Waralaba, Direktorat Jenderal Perdagangan, September 2005). Secara sederhana, benang merah waralaba adalah penjualan paket usaha komprehensif dan siap pakai yang mencakup merek dagang, material dan pengolaan manajemen. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam franchising (pewaralabaan) terbagi atas 2 segmen yakni : pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee).
Franchisor, yang juga umum disebut sebagai pewaralaba adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Franchisee, yang juga disebut terwaralaba, adalah badan usaha yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilki pemberi waralaba.
Franchisor sudah harus siap dengan perlengkapan operasi bisnis dan kinerja manajemen yang baik, menjamin kelangsungan usaha dan distribusi bahan baku untuk jangka panjang, serta menyediakan kelengkapan usaha sampai ke detail yang terkecil. Franchisor juga sudah harus menyediakan perhitungan keuntungan yang didapat, neraca keuangan yang mencakup BEP (Break Event Point) dan ROI (Return On Investment). Franchisee hanya menyediakan tempat usaha dan modal sejumlah tertentu bergantung pada jenis waralaba yang akan dibeli. Franchisee mempunyai dua kewajiban finansial yakni membayar franchise fee dan royalti fee. Franchise fee adalah jumlah yang harus dibayar sebagai imbalan atas pemberian hak intelektual pemberi waralaba, yang dibayar untuk satu kali (one time fee) di awal pembelian waralaba. Royalti fee adalah jumlah uang yang dibayarkan secara periodik yang merupakan persentase dari omzet penjualan. Nilai franchisee fee dan royalti fee ini sangat bervariatif, bergantung pada jenis waralaba. Namun franchisee juga mempunyai kewajiban non-finansial yang sangat esensial yakni menjaga image produk waralaba.
Masyarakat telah sangat mengenal brand McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Bread Talk, Starbucks atau Pizza Hut. Nama-nama merek dagan tersebut adalah merek dagang waralaba asing. Dalam pengoperasiannya mereka menjual master franchise. Master franchise ini berhak untuk mengelola sendiri atau menjual kembali kepada franchisee pada suatu teritori (cakupan area) tertentu, tergantung pada kesepakatan.
Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia merupakan peran serta dari merek-merek waralaba lokal seperti Primagama, Alfamart, Martha Tilaar, Roti Buana, Edward Forrer, Bogasari Baking Center dan berbagai nama lainnya. Merek-merek lokal ini diarahkan pemerintah untuk bernaung di bawah AFI (Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi yang diakui oleh pemerintah dalam bidang waralaba. Asosiasi ini merupakan anggota dari IFA (International Franchise Association) yang adalah organisasi franchise skala internasional. AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan dari ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia. Pada Juni 2003, disponsori oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Sekarang Departemen Perdagangan), diselenggarakan pemilihan waralaba lokal terbaik yakni : Rumah makan Wong Solo (Kategori Restoran), Indomaret (Kategori Retail), ILP (kategori Pendidikan).
Di lapangan, sistem waralaba di Indonesia diterapkan setidaknya menjadi 4 jenis yakni : waralaba dengan sistem business format, waralaba bagi keuntungan, waralaba kerjasama investasi dan waralaba merek dagang. Penerapan ini sangat dinamis, dimana penggunaannya sangat bergantung terutama pada jenis usaha dan area. Kriteria status usaha dapat berubah menjadi waralaba setidaknya harus memenuhi berbagai persyaratan khusus yakni unik, tidak mudah ditiru, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan tipe usaha sejenisnya sehingga konsumen akan selalu mencari produk atau jasa tersebut (repeated order). Mempunyai proven track record atau mempunyai konsep usaha yang telah terbukti berhasil, yang dapat dilihat dari neraca keuangan, citra perusahaan serta produk/jasa yang terjamin.
Terwaralaba pun harus pula diuntungkan dengan adanya standarisasi dan pengoperasian yang jelas, yang dituangkan dalam kerangka kerja yang dikenal sebagai SOP (Standard Operational Procedure). SOP dapat dikatakan jiwa dari kehidupan waralaba. Tanpa SOP yang jelas, gamblang mudah dimengerti dan diaplikasikan, kesuksesan waralaba akan sulit tercapai. SOP akan memuat secara detail pedoman pengoperasian suatu usaha, mulai dari suplai bahan baku, manajerial, pelatihan SDM, keuangan, marketing dan promosi, sampai pada riset pengembangan usaha. Setiap detail akan dibukukan menjadi manual-manual sesuai dengan segmennya masing-masing.
Faktor-faktor yang menjadi persyaratan suatu waralaba seperti yang tersebut diatas umum disebut dengan istilah franchisibility. Oleh karena standarisasi yang cukup tinggi, memberikan keuntungan bagi masyarakat yang ingin membeli waralaba. Banyak peluang bisnis (Business Opportunity – BO) yang mengklaim diri sebagai waralaba, padahal tidak memenuhi persyaratan-persyaratan untuk layak disebut waralaba.
Risiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsep bisnis lain seperti MLM (Multi Level Marketing), Distributor, Direct Sales Business (Penjualan Langsung), dan berbagai konsep bisnis lain. Risiko kegagalan pembeli waralaba adalah 5 % - 15 %, sedangkan pada bisnis biasa berada di angka lebih dari 65 %. Para pengusaha yang telah menjalankan mantap bisnisnya mendapat keuntungan dengan mengkonversi usahanya menjadi waralaba. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk mempertinggi kualitas bisnis mereka, dampak yang didapat lebih dari sekedar setara dalam hal membangun image dan brand produk atau jasa mereka. Biaya pembelian atau penyewaan tempat usaha secara otomatis bukan lagi menjadi tanggung jawab franchisor. Sebagai contoh suatu toko roti yang sudah terkenal di daerah makasar akan memerlukan ratusan juta rupiah, bahkan pada kisaran milyaran jika si pemilik ingin membuka 10 cabang di berbagai kota di Indonesia. Sedangkan mungkin hanya butuh dana yang tidak besar, jika usaha tersebut telah siap diwaralabakan ke berbagai kota. Dalam hitungan bulan, berbagai outletnya telah dibangun dan citra produk makin dikenal masyarakat.
Hal yang menarik dari isu waralaba nasional adalah bahwa pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian waralaba mereka. Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus menerus dan up to date. Pihak media di Indonesia juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan waralaba lokal, berbagai media bisnis telah banyak mengangkat waralaba sebagai suatu segmen liputan khusus, bahkan sekarang telah terdapat majalah yang hanya khusus mengupas seluk beluk waralaba secara spesifik. Sarana promosi yang menunjang ini makin diperkuat oleh berbagai event pameran skala nasional, yang tidak hanya diselenggarakan di Jakarta, namun juga ke berbagai kota-kota di daerah.
Puluhan ribu pengunjung yang datang merupakan representasi atensi masyarakat akan pengetahuan waralaba. Hal ini disebabkan oleh makin mudahnya rantai distribusi ke daerah dan potensi ekonomi mikro daerah yang menjanjikan. Keterkaitan industri perbankan juga makin memperkokoh konsep bisnis waralaba, dengan hadirnya program perkreditan khusus kemitraan, sebagai contoh Bank HS 1906 yang memberikan kredit investasi waralaba dan kredit modal kerja waralaba. Kerjasama developer-developer di bidang penyediaan tempat (retail space) waralaba mulai dirilik berbagai pemain properti, karena dianggap lebih mengguntungkan untuk penjualan tempat usaha (ruko, mal, trade center) jika diintegrasikan dengan waralaba.
Kerjasama ini sangat menguntungkan, karena selain arah dan tujuan pemakaian tempat usaha sudah jelas untuk jenis waralaba tertentu, harga properti yang didapat pun lebih murah dibandingkan jika mereka membeli secara terpisah. Sinergi yang massive dari berbagai pihak ini makin memantapkan eksistensi waralaba di Indonesia. Keberadaan waralaba bagi pemerintah sendiri sangat membantu terutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu perekonomian daerah.
Sebelum krisis moneter, pemain waralaba di Indonesia umumnya adalah waralaba asing. Tahun 1997, sekitar 64% waralaba asing yang menutup usahanya akibat dari fluktuasi nilai tukar rupiah. Setelah krisis moneter reda, mulai bermunculan berbagai waralaba lokal. Dari kurun waktu 1999 sampai 2000 pertumbuhan waralaba lokal sebesar 120 %. Proyeksi tren bisnis waralaba di Indonesia akan tetap menjanjikan selama baik franchisor maupun franchisee memegang teguh komitmen untuk terus menerus meningkatkan kualitas produk atau jasa yang mereka jual. Pemilik usaha yang ingin mewaralabakan usahanya untuk publik harus benar-benar membenahi sistem dulu sebelum berani menjual konsep bisnisnya ke publik. Setiap orang yang ingin berkecimpung di bidang waralaba harus benar-benar mengingat bahwa usaha ini adalah tipe usaha jangka panjang dan berkesinambungan. Dedikasi terhadap kualitas mutu harus benar-benar dijaga, SOP dan manual yang telah dibuat tidak hanya dipatuhi tapi juga terus menerus diperbaharui dan ditingkatkan.
Selera masyarakat menjadi suatu penyaring yang terandalkan untuk memilih suatu usaha memang benar-benar layak disebut sebagai waralaba, bukan hanya sekedar peluang bisnis (business opportunity – BO). Walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak signifikan, namun terdapat beberapa kasus waralaba yang dapat dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang. Kasus tersebut biasanya bersumber dari ketidakmampuan franchisor untuk memenuhi demmand suplai barang yang membludak (overloaded), sehingga distribusi stok sempat terhenti. Kasus lain yang juga sering terjadi adalah kurangnya pengawasan terhadap kualitas kontrol dan manajemen mutu franchisee, sehingga produk yang dibeli tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain. Franchisee yang sukses umumnya adalah mereka yang memang benar-benar menaruh minat pada jenis usaha yang dibeli, jadi bukan hanya sekedar investasi belaka, namun juga memperhitungkan faktor motivasi.
Memilih jenis franchise setara dengan memilih pasangan hidup. Hubungan antara franchisor dan franchise harus harmonis dan langgeng. Jika seseorang tidak pernah menyukai mengutak atik mobil, disarankan untuk tidak membeli franchise bengkel. Atau jika seseorang tidak senang merawat pakaian, jangan membeli franchise laundry. Jenis usaha waralaba yang ada di Indonesia sudah sangat beragam mulai dari bakery, café, F & B, internet, apotik, agen properti, salon, retail, pendidikan, hobi, perhiasan, cargo bahkan sampai plumbing service pun sudah tersedia.
Besarnya variasi usaha ini hendaknya memudahkan masyarakat untuk memilih yang benar-benar tepat untuk dirinya. Tidak sedikit pula jenis franchise lokal yang sudah benar-benar mantap menjaga kualitas dan membangun citra produknya sehingga mereka sudah mulai go international dengan mengikuti berbagai expo di mancanegara dan sudah membuka cabangnya di luar negeri. Prospek pasar masih luas dan menanti. Kita semua berharap suatu saat semua pihak waralaba di Indonesia, baik franchisor maupun franchisee sudah mempunyai profesionalisme dan etos kerja yang tinggi, yang melahirkan sistem yang benar-benar teruji, sehingga produk dan sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi suatu epidemi di masyarakat Indonesia.
(Yohanes Heidy Purnama, General Manajer NEO Promosindo, Komisaris Majalah Info Franchise Indonesia)