Mereka bukan ahli waris takhta suatu kerajaan bisnis. Namun, mereka tak lelah bermimpi untuk masa depan yang lebih baik.
uatu sore di penghujung Januari lalu, Fiki Satari (36), berkunjung ke sebuah rumah di daerah Cijerah, Bandung. Bersama beberapa karyawan yang masih menyelesaikan pekerjaan menjahit dan menyablon, Fiki berdiskusi tentang desain, bahan, dan distribusi kaus. Dari rumah itulah kaus Airplane Systm, label indie milik Fiki, menyebar ke puluhan kota di Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan pernah sampai ke Perancis.
Selain pusat produksi kaus yang berada di Cijerah, ada rumah-rumah lain yang memberdayakan anak muda hingga ibu-ibu sebagai tempat produksi produk lain, seperti jaket, sweater, dan denim. Ada pula tempat produksi berbagai aksesori seperti tas, ikat pinggang, dan dompet.
Fiki memulai usaha memproduksi label indie, yang disebut bisnis clothing, pada saat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dan terjadi krisis moneter 1998. Hobi dia dan teman-temannya memakai kaus bergambar band-band luar negeri terhambat karena harga kaus yang semakin mahal.
Hingga kini, toko Airplane Systm tak bertambah banyak. Hanya ada di Jalan Aceh, Bandung, yang berukuran sekitar 4 x 5 meter. Fiki memang memilih tidak memperbesar dan mempercantik toko, seperti umumnya dilakukan pengusaha di Bandung yang menjual konsep kenyamanan tempat. Apalagi harga sewa toko, sejak dia menyewa di tahun 2000, naik hingga 10 kali lipat.
Fiki malah melirik kota kecil sebagai target pasar. Setelah memasuki pasar Jakarta, Surabaya, Bogor, Yogyakarta, Cianjur, Fiki menyebar produk ke kota kecil bersamaan dengan strategi memperbesar pasar wholesale pada tahun 2003. Produk Airplane Systm bahkan bisa dijumpai di wilayah timur Indonesia, seperti di Bone, Pare, Palopo, Mamuju, Mamasa, termasuk kota-kota di Papua.
”UKM seperti saya ini diserang atas-bawah, depan-belakang. Semua kalangan sudah terkena dampak pasar bebas. Lihat saja barang yang mereka beli di mal. Makanya, saya melihat potensi justru ada di kota kedua ke bawah karena masyarakat di daerah tersebut tidak memiliki banyak pilihan untuk membeli produk mode,” tutur Fiki, salah satu finalis International Young Creative Entrepreneur of The Year Award for Fashion dari The British Council.
Lain lagi dengan cerita Firmansyah Budi Prasetyo (30). Sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada ini tak menyangka bahwa program-program pertukaran pemuda Indonesia-Canada Youth Exchange Program, Canada World Youth, (Vancouver, Kanada-Kalimantan) tahun 2005 memberinya inspirasi yang mendalam. Ketika itu, dia tinggal di Entikong, yang menjadi titik keluar masuknya tenaga kerja wanita ke Malaysia. Firman yang melangut bertanya-tanya mengapa Indonesia harus kekurangan lapangan pekerjaan.
”Kita juga selalu bangga cuma jadi pengekspor raw material, minyak, gas, batubara. Tapi itu semua akan habis. Sampai kapan kita harus mengandalkan gali-galian? Sementara, komoditas bahan pangan pun banyak yang cuma kita ekspor mentah,” ujar Firman.
Dari pemikiran itu, Firman bertekad membangun usaha kreatif yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Singkong, bahan pangan yang mudah didapat di mana saja, menjadi sasarannya. Tahun 2006, dia memutuskan untuk memulai membuka usaha berjualan singkong goreng istimewa, yang diolah khusus sehingga renyah dan pulen. Gerobak yang pernah dipakai ibunya untuk berjualan gorengan dimanfaatkan oleh Firman. Bahan baku singkong pun diperolehnya dari Pasar Tela di Karangkajen, Yogyakarta.
Firman kemudian belajar mengenai sistem waralaba untuk mengembangkan usahanya. Dengan kekuatan produk yakni singkong goreng yang renyah, waralaba itu pun akhirnya berkembang luas di 133 kota di Indonesia. Seiring dengan waktu, Firman pun kini mengubah model penjualannya, yakni tidak lagi dengan mengandalkan gerobak, namun menjual singkong yang telah diolah setengah jadi secara kiloan. Dengan demikian, manajemen pun lebih mudah.
Selain itu, sejak tahun lalu, Firman mengembangkan produk barunya yakni brownies tela dan cake tela. ”Semangat wirausaha kaum muda juga perlu dukungan lingkungan sosial. Jatuh bangun dalam berbisnis itu biasa. Namun ketika jatuh harus tetap didukung untuk maju lagi,” ujar Firman.
Model waralaba gerobakan juga dirintis usaha Kebab Baba Rafi. Bermula dari liburan ke Qatar untuk menjenguk sang ayah yang bekerja di sana, Hendy Setiono terinspirasi merintis bisnis kebab di Tanah Air, pada 2003 lalu. Ia yakin masakan Timur Tengah itu cocok dengan lidah kebanyakan orang Indonesia dan bisa menjadi jalan ia menuangkan kreasi berwirausaha.
Hendy mulai berjualan dengan satu gerobak dan satu karyawan. Kini kebab Baba Rafi yang didirikan Hendy sudah berkembang dengan sistem waralaba hingga mencapai sekitar 800 gerai di seluruh Indonesia.
Ketika mengawali usaha, pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983, ini masih berstatus mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Dengan modal uang pinjaman dari saudara senilai Rp 4 juta, Hendy memulai berjualan kebab. Ia menuangkan modal itu antara lain untuk membeli satu gerobak untuk berjualan dan mempekerjakan seorang karyawan.
Dengan sistem waralaba, Baba Rafi kini sudah berkembang di seluruh Indonesia dengan 800 gerai. Karyawan Baba Rafi saat ini mencapai 1.600 orang, sebagian besar ditempatkan di gerai. Sekitar 70 persen dari gerai Baba Rafi itu dikelola oleh pihak terwaralaba, selebihnya dikelola sendiri oleh manajemen Baba Rafi. Kendati tetap mengalami jatuh bangun, adanya pihak terwaralaba yang tak sepenuh hati berusaha, Hendy tak patah semangat. Kini dia berencana mengubah komposisi pengelolaan waralabanya menjadi 70 persen dikelola sendiri.
Kendati gairah kaum muda berbisnis tengah bergelora, ahli pemasaran Rhenald Kasali mengingatkan beberapa kelemahan yang kerap bisa menjadi kendala krusial.
”Jangan ketika baru mulai sukses lantas menjadi konsumtif, menikah lagi, atau terseret ke politik praktis. Tetapi lakukanlah re-investasi. Wirausahawan sejati tidak menargetkan tujuannya menjadi kaya. Menjadi kaya adalah akibat,” tandas Rhenald. (Kompas, 19 Februari 2012)