Sedari kecil bercita-cita jadi penulis? Tidak masalah. Menjadi penulis profesional sudah terbukti menjanjikan masa depan. “Penulis bisa kaya gak?” “Bisa, bisa banget!” ujar Moammar Emka bersemangat. Dia berkata begitu karena bukunya, Jakarta Undercover, yang terbit pertama kali tahun 2002 sempat menggegerkan dunia kepenulisan. Bisa ditebak apa yang terjadi dengan pria asal Surabaya ini? Ya, royalti yang diterimanya relatif besar bahkan mungkin sangat besar untuk ukuran penulis Indonesia. “Dari hasil Jakarta Undercover itu, saya bisa bikin penerbitan, Gagas Media,” tambah pria berjanggut yang biasa disapa Emka ini.
Di lain tempat, seorang penulis lepas bernama Jonru, belakangan ini mulai dikenal lewat sekolah menulis online yang didirikannya sekitar setahun lalu. Situs www.belajar menulis.com yang dibesutnya menghadirkan sekolah menulis online (SMO) yang saat ini tengah membuka kelas angkatan ke-4. “Saya memulainya sekitar setahun lalu, Alhamdulillah responsnya bagus. Alumninya kurang lebih 60 orang dan beberapa sudah menerbitkan buku,” kata Jonru yang ditemui di kediamannya di Cilangkap.
Dunia menulis dan kepenulisan saat ini ditengarai menjadi peluang yang menjanjikan untuk dijadikan mata pencaharian atau lahan bisnis. Indonesia yang memiliki beragam karakter penulis dan gaya penulisan, merupakan pasar yang besar untuk dikembangkan. Industri penulisan ibarat kue enak, tapi belum banyak diperebutkan. “Peradaban itu berawal dari tulisan. Di Indonesia profesi yang tidak diperebutkan itu adalah penulis. Ini berbeda dengan CPNS, lowongan hanya 100 tapi yang melamar ribuan,” ujar Habiburahman El Shirazy, penulis novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta yang akrab disapa kang Abik ini.
Meretas jalan menjadi penulis di Indonesia memang tergolong panas. Pasalnya, ada pertentangan antara idealisme dan kebutuhan industri. Penulis yang memiliki idealisme harus memutar otak agar bisa berkolaborasi dengan industri tanpa mengenyahkan idealismenya. Di lain pihak, penulis yang lebih mementingkan permintaan pasar bisa jadi diuntungkan dengan kelihaiannya membaca kebutuhan pembaca. “Kalau mau fair-fair-an, ya harus tahu keinginan pasar. Bukan berarti tidak idealis, tapi kompromi dengan pasar,” komentar Emka ketika ditanya bagaimana agar buku yang diterbitkan bisa laku. “Buku SMS gue itu tadinya puisi. Tapi kalau gue kasih judul puisi cinta romantis, ya gak laku! Formatnya gue ubah jadi bentuk sms. Puisinya gue penggal jadi gak lebih dari 150 karakter. Jadi, orang mau sms-an romantis bisa lihat dari buku gue itu,” Emka memberi contoh.
Industri kepenulisan juga bukan hanya monopoli orang dewasa saja. Mizan Publishing (MP) diwakili oleh Benny Rhamdhani mengatakan, anak kecil pun punya kesempatan untuk menjadi penulis profesional. Karena itu, MP merancang program “Kecil Kecil Punya Karya” (KKPK) untuk menerbitkan tulisan anak. Ternyata, program ini mendapat respon yang signifikan dari pembaca cilik. “Menurut saya minat baca anak sudah tinggi, namun daya belinya saja yang masih rendah. Meski begitu, prospek penulis cilik sangat besar,” ujar Benny yang ditemui di peluncuran buku KKPK tiga penulis cilik Ramya, Rizky, dan Nabila.
Menurut Benny, penulis cilik pun bukan hanya latah menulis. Akan tetapi, mereka dinilai berdasarkan hasil karyanya. “Aku menulis karena suka dan memang ingin menjadi penulis,” kata Ramya, penulis cilik berusia 9 tahun. Sementara Nabila, 12 tahun, mengaku bahwa kesenangannya menulis berawal dari kecintaannya membaca novel Harry Potter. Dari situlah ia merasa terinspirasi untuk menulis. “Jadi ketagihan bikin buku lagi. Rencananya ingin bikin buku bareng teman biar mengharumkan nama keluarga, sekolah, dan diri sendiri. Dan dapat honor, hehehe,” kata Nabila polos.
Rizky, 10 tahun, punya cerita sendiri. Ia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat berumur dua tahun yang mengakibatkan kakinya patah cukup parah dan tidak bisa beraktivitas normal cukup lama. Penulis buku “Kupetik Bintang” ini berbagi cerita bagaimana ia menghadapi dan bangkit dari traumanya untuk menggapai cita-citanya. “Cita-citaku ingin jadi artis terkenal dan menulis buku ini untuk berbagi dengan teman-teman agar tidak mudah putus asa,” cetus pelajar kelas 5 SD ini.
Gita, 40 tahun, orang tua dari Ramya, penulis Petualangan Ramya, Dunia Es Krim, dan My Piano My Best Friend, mengatakan bahwa menulis adalah bakat Ramya yang sudah terlihat sejak usianya 6 tahun. Gita mengaku tidak memaksa Ramya menjadi penulis. Ia hanya mengarahkan Ramya dan mendukung bakat anaknya itu. “Saya fasilitasi dalam hal buku. Buku apapun yang dia minta pasti saya belikan,” ujar Gita. “Saya lihat menjadi penulis di masa depan akan cerah prospeknya. Saya tidak keberatan jika anak saya memilih menjadi penulis,” tambah Gita. Senada dengan Gita, Agus Hadiyanto, orang tua Rizky, juga menilai bahwa dunia menulis akan menjadi industri yang menjanjikan di masa depan asalkan terjun secara profesional. “Menjadi penulis masa depannya cerah asal serius,” katanya menilai.
Baik Emka, Jonru maupun kang Abik mengamini bahwa peluang industri menulis dan kepenulisan di Indonesia akan cerah. “Sangat cerah, prospektif, membuat kita kaya, dan memberi kesempatan untuk bekerja sama dengan banyak orang,” ujar kang Abik. “Ke depan, bisnis yang prospektif itu bisnis ide dan penulis itu biasanya penuh dengan ide,” tambah kelahiran Semarang, 30 September 1976 ini. Bagaimana menurut Emka? “Gue memprediksi, lima tahun ke depan profesi menulis dan sekolah menulis akan besar. Tumbuh 20%-30%. Kalau misalnya gue mulai tahun ini buka satu sekolah menulis, pasti ada lagi yang buka,” kata Emka optimistis.
Di sisi lain, Jonru, penulis novel “Cinta Tak Terlerai” terbitan DAR! Mizan mengembangkan konsepnya sendiri. “Saya sedang mengembangkan konsep writerneurship, yaitu menciptakan penghasilan dari menulis. Kalau jadi penulis jangan hanya berpikir cuma kirim ke majalah, koran, atau menerbitkan buku. Bisa lebih dari itu, menulis biografi, membangun jaringan lewat komunitas dan memanfaatkan teknologi,” katanya. Mengembangkan sekolah menulis ternyata juga bukan hanya mainan Jonru. Emka maupun kang Abik pun melakukan hal yang sama. Hanya saja, mereka berbeda karakter penulisan. Jonru beruntung karena lihai menangkap celah di media online, khususnya via internet. “Modal saya membangun Sekolah Menulis Online waktu itu hanya Rp 500 ribu karena beberapa perangkat keras sudah saya miliki. Dan, saat itu domain masih ada yang gratis. Kalau dihitung-hitung bagi yang berminat di bisnis ini dan mulai dari nol mungkin membutuhkan modal awal sekitar Rp 10 jutaan. Ini untuk menyiapkan infrastrukturnya. Komputer yang layak, koneksi internet, dan domain sekarang harus bayar,” jelas kelahiran 7 Desember 1970 ini.
Di lain tempat, seorang penulis lepas bernama Jonru, belakangan ini mulai dikenal lewat sekolah menulis online yang didirikannya sekitar setahun lalu. Situs www.belajar menulis.com yang dibesutnya menghadirkan sekolah menulis online (SMO) yang saat ini tengah membuka kelas angkatan ke-4. “Saya memulainya sekitar setahun lalu, Alhamdulillah responsnya bagus. Alumninya kurang lebih 60 orang dan beberapa sudah menerbitkan buku,” kata Jonru yang ditemui di kediamannya di Cilangkap.
Dunia menulis dan kepenulisan saat ini ditengarai menjadi peluang yang menjanjikan untuk dijadikan mata pencaharian atau lahan bisnis. Indonesia yang memiliki beragam karakter penulis dan gaya penulisan, merupakan pasar yang besar untuk dikembangkan. Industri penulisan ibarat kue enak, tapi belum banyak diperebutkan. “Peradaban itu berawal dari tulisan. Di Indonesia profesi yang tidak diperebutkan itu adalah penulis. Ini berbeda dengan CPNS, lowongan hanya 100 tapi yang melamar ribuan,” ujar Habiburahman El Shirazy, penulis novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta yang akrab disapa kang Abik ini.
Meretas jalan menjadi penulis di Indonesia memang tergolong panas. Pasalnya, ada pertentangan antara idealisme dan kebutuhan industri. Penulis yang memiliki idealisme harus memutar otak agar bisa berkolaborasi dengan industri tanpa mengenyahkan idealismenya. Di lain pihak, penulis yang lebih mementingkan permintaan pasar bisa jadi diuntungkan dengan kelihaiannya membaca kebutuhan pembaca. “Kalau mau fair-fair-an, ya harus tahu keinginan pasar. Bukan berarti tidak idealis, tapi kompromi dengan pasar,” komentar Emka ketika ditanya bagaimana agar buku yang diterbitkan bisa laku. “Buku SMS gue itu tadinya puisi. Tapi kalau gue kasih judul puisi cinta romantis, ya gak laku! Formatnya gue ubah jadi bentuk sms. Puisinya gue penggal jadi gak lebih dari 150 karakter. Jadi, orang mau sms-an romantis bisa lihat dari buku gue itu,” Emka memberi contoh.
Industri kepenulisan juga bukan hanya monopoli orang dewasa saja. Mizan Publishing (MP) diwakili oleh Benny Rhamdhani mengatakan, anak kecil pun punya kesempatan untuk menjadi penulis profesional. Karena itu, MP merancang program “Kecil Kecil Punya Karya” (KKPK) untuk menerbitkan tulisan anak. Ternyata, program ini mendapat respon yang signifikan dari pembaca cilik. “Menurut saya minat baca anak sudah tinggi, namun daya belinya saja yang masih rendah. Meski begitu, prospek penulis cilik sangat besar,” ujar Benny yang ditemui di peluncuran buku KKPK tiga penulis cilik Ramya, Rizky, dan Nabila.
Menurut Benny, penulis cilik pun bukan hanya latah menulis. Akan tetapi, mereka dinilai berdasarkan hasil karyanya. “Aku menulis karena suka dan memang ingin menjadi penulis,” kata Ramya, penulis cilik berusia 9 tahun. Sementara Nabila, 12 tahun, mengaku bahwa kesenangannya menulis berawal dari kecintaannya membaca novel Harry Potter. Dari situlah ia merasa terinspirasi untuk menulis. “Jadi ketagihan bikin buku lagi. Rencananya ingin bikin buku bareng teman biar mengharumkan nama keluarga, sekolah, dan diri sendiri. Dan dapat honor, hehehe,” kata Nabila polos.
Rizky, 10 tahun, punya cerita sendiri. Ia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat berumur dua tahun yang mengakibatkan kakinya patah cukup parah dan tidak bisa beraktivitas normal cukup lama. Penulis buku “Kupetik Bintang” ini berbagi cerita bagaimana ia menghadapi dan bangkit dari traumanya untuk menggapai cita-citanya. “Cita-citaku ingin jadi artis terkenal dan menulis buku ini untuk berbagi dengan teman-teman agar tidak mudah putus asa,” cetus pelajar kelas 5 SD ini.
Gita, 40 tahun, orang tua dari Ramya, penulis Petualangan Ramya, Dunia Es Krim, dan My Piano My Best Friend, mengatakan bahwa menulis adalah bakat Ramya yang sudah terlihat sejak usianya 6 tahun. Gita mengaku tidak memaksa Ramya menjadi penulis. Ia hanya mengarahkan Ramya dan mendukung bakat anaknya itu. “Saya fasilitasi dalam hal buku. Buku apapun yang dia minta pasti saya belikan,” ujar Gita. “Saya lihat menjadi penulis di masa depan akan cerah prospeknya. Saya tidak keberatan jika anak saya memilih menjadi penulis,” tambah Gita. Senada dengan Gita, Agus Hadiyanto, orang tua Rizky, juga menilai bahwa dunia menulis akan menjadi industri yang menjanjikan di masa depan asalkan terjun secara profesional. “Menjadi penulis masa depannya cerah asal serius,” katanya menilai.
Baik Emka, Jonru maupun kang Abik mengamini bahwa peluang industri menulis dan kepenulisan di Indonesia akan cerah. “Sangat cerah, prospektif, membuat kita kaya, dan memberi kesempatan untuk bekerja sama dengan banyak orang,” ujar kang Abik. “Ke depan, bisnis yang prospektif itu bisnis ide dan penulis itu biasanya penuh dengan ide,” tambah kelahiran Semarang, 30 September 1976 ini. Bagaimana menurut Emka? “Gue memprediksi, lima tahun ke depan profesi menulis dan sekolah menulis akan besar. Tumbuh 20%-30%. Kalau misalnya gue mulai tahun ini buka satu sekolah menulis, pasti ada lagi yang buka,” kata Emka optimistis.
Di sisi lain, Jonru, penulis novel “Cinta Tak Terlerai” terbitan DAR! Mizan mengembangkan konsepnya sendiri. “Saya sedang mengembangkan konsep writerneurship, yaitu menciptakan penghasilan dari menulis. Kalau jadi penulis jangan hanya berpikir cuma kirim ke majalah, koran, atau menerbitkan buku. Bisa lebih dari itu, menulis biografi, membangun jaringan lewat komunitas dan memanfaatkan teknologi,” katanya. Mengembangkan sekolah menulis ternyata juga bukan hanya mainan Jonru. Emka maupun kang Abik pun melakukan hal yang sama. Hanya saja, mereka berbeda karakter penulisan. Jonru beruntung karena lihai menangkap celah di media online, khususnya via internet. “Modal saya membangun Sekolah Menulis Online waktu itu hanya Rp 500 ribu karena beberapa perangkat keras sudah saya miliki. Dan, saat itu domain masih ada yang gratis. Kalau dihitung-hitung bagi yang berminat di bisnis ini dan mulai dari nol mungkin membutuhkan modal awal sekitar Rp 10 jutaan. Ini untuk menyiapkan infrastrukturnya. Komputer yang layak, koneksi internet, dan domain sekarang harus bayar,” jelas kelahiran 7 Desember 1970 ini.
Kang Abik yang semakin eksis di dunia kepenulisan juga memiliki sekolah menulis yang digabungkan di dalam kurikulum belajar di pesantrennya. “Di Pesantren Basmala, Semarang, ada kelas menulis untuk mahasiswa, responnya bagus. Kemungkinan ke depan akan buka kelas menulis di Jakarta atas permintaan dari masyarakat,” ujar kang Abik yang ditemui sebagai pembicara di pengajian PKPU di Wisma Kodel, Jakarta, 6 Juni lalu.
Sementara itu, Emka yang ditemui di sebuah cafe di Plasa Senayan mengatakan, dia dan timnya sedang mematangkan modul untuk sekolah menulisnya, Jakarta School. “Ada tim yang bertugas membuat modul sekolah menulis dan referensinya bisa dari mana saja, baik dalam maupun luar negeri. Gue ingin ini menjadi sekolah menulis formal,” tegas Emka. “Alumni angkatan pertama Jakarta School itu 210 orang dan mereka sekolah gratis! Mereka banyak yang sudah bikin buku, tapi belum sempurna. Nah, belajar dari pengalaman ini sekarang kami matangkan bagaimana cara mengajarnya, kurikulumnya, siapa yang harus terlibat, pengajarnya siapa, dan lain-lain,” tutur Emka memaparkan. Akan tetapi, ia melanjutkan, “Kami belum tahu apakah akan digratiskan lagi atau ada biaya yang akan dipungut. Yang pasti tetap ada beasiswa.”
Beragam cara bisa dilakukan agar eksis dan berkembang sebagai penulis. Nama-nama di atas hanya segelintir dari penulis yang berkomitmen menjadikan profesi menulis sebagai pekerjaan utama mereka dan memiliki keyakinan akan masa depan yang cerah sebagai penulis. Tak hanya itu. Banyak usaha turunan berbasis menulis yang bisa diretas, antara lain: penerbitan, sekolah menulis, pembicara, pengajar, motivator, dan lain-lain. Tentu, masih banyak benih kreativitas yang harus disemai dan dirawat bila ingin buahnya bagus dan manis. Bagaimana, tertarik mengikuti jejak mereka? (Majalah Human Capital, Juli 2008)