Mempersiapkan Usaha Mandiri Sejak Dini

Mengandalkan gelar sarjana untuk mencari kerja sudah tidak zamannya. Sekarang, di saat lapangan kerja semakin sempit, mau tak mau menuntut sebagian mahasiswa untuk mempersiapkan usaha mandiri sejak dini.

Gelar sarjana belum tentu menjamin masa depan. Tengok saja, begitu lulus kuliah banyak dari mereka menganggur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran bergelar sarjana semakin meningkat pesat empat tahun terakhir ini. Sekadar ilustrasi, tahun 2004 tercatat 348.107 pengangguran sarjana. Pada tahun 2008 meningkat jadi 598.318 orang.

Seakan sadar oleh kondisi serba sulit yang bakal menghadang itu, Vidia (21) memutuskan merintis usaha jual-beli mutiara. ”Awalnya, saya sulit meyakinkan papa kalau dengan menjual mutiara saya bisa membiayai hidup,” kata Vidia yang masih berstatus mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 2005, Vidia merintis usaha jual-beli mutiara air tawar, yang didatangkan dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, kampung halamannya sendiri. Ia melihat peluang bisnis ini ketika seorang teman titip beli mutiara untuk hadiah ibunya. Teman itu menitip uang Rp 400.000. ”Dari situ saya berpikir ada banyak mahasiswa di kampus dan mereka berpotensi menjadi pasar,” tutur Vidia.

Ikhsan (21), mahasiswa semester delapan Jurusan Agribisnis IPB, memulai usaha ternak domba ketika masih kuliah di semester dua. Ketika itu ia hanya membeli satu ekor domba lalu menjualnya lagi saat Idul Adha. Sekarang Ikhsan sudah memiliki usaha ternak skala kecil yang diberi nama Agrifarm. Usaha ternak itu ia kelola bersama lima temannya, yakni Mitha, Irma, Dinar, Iqbal, dan Uzainah. ”Dengan beternak, saya bisa menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah,” kata Ikhsan.

Bermodal proposal

Mereka yang memulai usaha sambil kuliah ini tidak selalu bergantung pada orangtua untuk mendanai bisnisnya. ”Masalah modal bisa diatasi dengan kreativitas. Kita harus kreatif dan menjaga kepercayaan agar bisa menarik investor,” kata Vidia. Vidia yang pernah dilarang ayahnya berbisnis ini mulai berjualan mutiara dengan modal Rp 4 juta. Uang modal itu diperoleh dari hadiah lomba bidang ilmu pengetahuan yang pernah dimenanginya.

Dengan uang modal itu, Vidia berbelanja perhiasan mutiara di Lombok, lalu menjualnya lagi ke teman-teman dan kenalannya. Dengan harga sekitar Rp 30.000-Rp 100.000 (pada waktu itu), mutiara Vidia laris manis. Agar usahanya mudah dikenal, Vidia memakai merek dagang Mandalika Pearl. Karena semakin banyak pesanan, ia mulai membutuhkan modal lebih besar. Mulailah Vidia menggandeng empat temannya, Bismi, Marsheilla, Evita, dan Nofaria, untuk menjadi investor sekaligus ikut mengelola Mandalika Pearl.

”Kami teman akrab, tetapi untuk urusan bisnis tetap harus ada surat perjanjiannya,” kata Vidia. Mereka pun berbagi tugas. Untuk urusan desain dan pemasaran dipegang Vidia, sementara teman yang lain kebagian tugas pemasaran, keuangan, dan publikasi. Untuk menarik investor, Vidia dan teman-temannya membuat proposal yang cukup meyakinkan. Isinya menjelaskan bisnis mutiara berikut prospek pengembangan bisnisnya. Agar calon investor percaya, Vidia menyertakan juga aliran uang kas bisnisnya.

Hasilnya, Mandalika Pearl mendapat bantuan dana dari IPB sebesar Rp 8 juta. Selain itu, beberapa orangtua mahasiswa juga tertarik menjadi investor. Sekarang usaha yang dikembangkan Vidia bersiap membuka galeri sendiri di Jakarta. Produk mereka juga dipasarkan di beberapa mal di Jakarta dan sudah memiliki distributor di beberapa daerah.

Pinjaman

Perjalanan usaha Mohammad Ikhsan agak berbeda. Ia langsung mendapat pinjaman modal dari seorang pemasok domba di Bogor untuk mengembangkan usahanya. ”Dasarnya hanya kepercayaan saja,” tutur Ikhsan.

Awalnya, uang pinjaman sebesar Rp 20 juta itu digunakan Ikhsan untuk membeli 20 ekor domba kecil dan membangun kandang seluas 24 meter persegi di Bojong Kerta, Bogor. Kandang itu berada di belakang rumah Irma, salah satu rekan Ikhsan. Sekarang Agrifarm sedang membesarkan 25 ekor domba dari Garut, Jawa Barat. Omzet yang bisa diraih Agrifarm sekitar Rp 19 juta setiap kali memasuki perayaan Idul Adha. Di luar itu, kambing mereka dijual untuk keperluan acara perayaan kelahiran dan pesta.

Sutanto (22) dan Hanif Affandi (21), keduanya dari Jurusan Ilmu Komputer IPB, memulai usaha nyaris tanpa modal sama sekali. Berbekal keahlian di bidang informasi teknologi mereka bergabung dengan tiga teman lainnya membentuk Nightfal dan memulai usaha di bidang desain situs, aplikasi untuk telepon genggam, dan instalasi jaringan.

Proyek yang digarap tidak main-main. Mereka pernah mendapat pesanan membuat aplikasi quick count saat pemilu legislatif dari sebuah lembaga survei. Nilai proyeknya mencapai Rp 30 juta. Namun, setelah proyek itu dikerjakan, ternyata lembaga survei itu membatalkannya secara sepihak. Mereka pun hanya dibayar Rp 2,5 juta. ”Ini pengalaman kami agar lain kali bisa membuat perjanjian yang lebih jelas,” kata Sutanto yang ditunjuk sebagai bos di Nightfal. Dengan kejelian melihat peluang dan penataan manajemen, para mahasiswa ini telah berhasil menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Tentu usaha mereka pantas dijadikan pegangan di masa krisis global seperti saat ini.