Memberdayakan Petani Dengan Paguyuban

Mustofa adalah seorang petani organik. Dia percaya sepenuhnya bahwa petani memiliki kekuatan dan sumber daya yang melimpah. Petani hanya memerlukan keberanian untuk melawan arus dan percaya pada kemampuan diri sendiri supaya bisa berdaya dan berjaya.

Di tengah perjalanan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jurusan Tarbiyah, Mustofa yang tinggal di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini prihatin dengan nasib petani di desanya.

Sekitar tahun 1998 petani bergulat dengan berbagai masalah, seperti harga yang anjlok saat panen dan serangan hama yang tidak teratasi.

”Saya melihat sendiri bagaimana petani menjadi buruh di sawahnya sendiri. Ini kan sangat ironis. Jangankan untuk membiayai sekolah anaknya, untuk bertanam lagi pun mereka tidak bisa karena hasilnya tidak seberapa,” ujar Mustofa tentang kondisi tahun 1990-an.

Prihatin pada kondisi petani itulah kemudian Mustofa bersama Basirun Mas’ud dan Muslih, yang juga petani, melakukan analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi petani. Hasilnya, mereka merumuskan sistem pertanian organik terpadu untuk diterapkan.

Jadilah Paguyuban Petani Al Barokah pun berdiri tahun 1998. Kemudian, mereka bersama-sama para petani di daerah lain bersatu, mendirikan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Nama Qaryah Thayyibah diambil dari bahasa Arab yang berarti desa yang berdaya.

Memang, menjadi desa yang berdaya adalah kehendak yang ingin dicapai Mustofa, saat ia terpilih menjadi Ketua Harian Paguyuban Al Barokah tahun 2000-2008. Dia lalu menjadikan pertanian organik yang terintegrasi sebagai ideologi baru bagi para petani. Targetnya, tidak boleh ada yang terbuang dalam proses produksi.

Mereka menggunakan benih lokal, yang ternyata lebih tahan hama ketimbang benih hibrida. Jika dimakan tikus misalnya, batang padi tersebut masih bisa tumbuh dan menghasilkan walaupun tidak sebaik padi yang tidak dimakan tikus.

Pemberdayaan perempuan

Para petani menjual beras mereka kepada Paguyuban Al Barokah dan dihargai Rp 9.000 per kilogram. Di paguyuban, beras organik tersebut digiling dan dikemas untuk dikirimkan ke beberapa tempat, seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Surabaya.

Bahkan, sisa-sisa panen pun tidak terbuang. Bekatul misalnya, mereka olah menjadi minuman yang diyakini berkhasiat bagi penderita diabetes. Selain itu, sekam dari padi pun diproses menjadi bio-arang sekam.

Selain itu, para petani diajak memelihara ternak. Menurut Mustofa, kotoran ternak bisa mereka manfaatkan untuk menghasilkan biogas dan ampasnya diolah menjadi pupuk organik. Meskipun baru beberapa bulan berjalan, kini sudah ada delapan rumah yang memanfaatkan biogas tersebut sebagai pengganti bahan bakar gas.

Semua proses tersebut mengakibatkan para petani nyaris tidak perlu mengeluarkan biaya operasional, meski mereka tetap harus mengeluarkan ongkos untuk biaya transportasi, sewa lahan, dan upah buruh.

Kondisi para petani itu bisa dikatakan berbanding terbalik dengan saat mereka mengerjakan sawah dengan pertanian konvensional. Pada pertanian konvensional, petani harus membeli benih, pupuk, dan pestisida.

Selain itu, Mustofa juga mendorong pemberdayaan perempuan di desanya. Lewat para perempuan di desa, ekonomi keluarga petani terbantu. Caranya, hasil pertanian selain padi, seperti singkong, ubi, dan kedelai, diolah para perempuan desa menjadi penganan untuk dijual.

Kegiatan belajar

Melihat banyaknya petani yang tak mampu menyekolahkan anak, Paguyuban Al Barokah lalu mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) paket B. Sekolah itu mereka beri nama sekolah global Qaryah Thayyibah (QT).

Sekolah ini memiliki kurikulum yang khas. Di sini anak-anak lebih banyak belajar keterampilan untuk bertahan hidup, seperti bagaimana membuat pupuk, bercocok tanam, dan memelihara ternak.

Informasi pun dibuka seluas-luasnya. Mustofa menyediakan internet di kantor Paguyuban Al Barokah yang dinamai Lumbung Sumber Daya (LSD) dan di sekolah QT. Petani bisa dengan mudah memanfaatkan internet untuk mencari informasi mengenai benih, serangan hama, atau harga komoditas terkini di pasaran.

Tak cukup sekadar mendapat informasi tentang bercocok tanam, petani membutuhkan akses ke lembaga keuangan karena selama ini perbankan enggan menyalurkan kredit untuk petani. Mustofa lalu menjadikan paguyuban itu sebagai badan hukum dengan nama Koperasi Simpan Pinjam Gardu Tani, yang kini memiliki 372 anggota. Untuk menjangkau petani yang tidak menjadi anggota koperasi, didirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis.

Semakin lama komunitas itu kian dikenal sehingga banyak orang datang untuk belajar atau menelitinya. Maka, Mustofa pun menjadikan daerah yang dinamai kawasan Jogosatru (nama sebuah bukit) itu menjadi Pusat Belajar.

Pusat Belajar tersebut mengambil tempat di rumah Mustofa. Selain petani, Pusat Belajar juga dimanfaatkan mahasiswa dan siswa sekolah dari sejumlah daerah. Mereka memanfaatkannya untuk belajar mengenai pertanian organik terpadu. Berbagai referensi pun tersedia, berjajar rapi di rak buku yang ada di ruang tamunya.

Selektif

Melihat kesungguhan Mustofa dan petani di Kecamatan Susukan, bantuan pun datang, baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun perusahaan. Namun, Mustofa menekankan, petani tetap mesti selektif menerima berbagai kemudahan yang diberikan.

”Bantuan pupuk kimia misalnya, tidak kami terima karena tak sesuai dengan ideologi kami,” katanya.

Menurut Mustofa, petani berhak dan mampu maju. Pengelolaannya dapat dimulai dari tingkat komunitas. Petani tidak harus bergantung pada bantuan pemerintah. Dengan mandiri, petani justru dapat melepaskan diri dari kungkungan pertanian konvensional dengan tingkat ketergantungan tinggi.

”Sekali menggunakan benih hibrida misalnya, pupuk yang digunakan harus merek tertentu, pestisidanya juga tidak bisa pakai yang lain. Padahal, itu semua membutuhkan biaya besar,” ujarnya.

Mewujudkan pertanian organik, kata Mustofa, adalah sebuah gerakan melawan arus. Selama ini petani sudah terpola dengan sistem pertanian konvensional sejak revolusi hijau sekitar 1970-an.

Gerakan pertanian organik yang dimulai Mustofa di kampungnya sejak 1998 pun mulai memperlihatkan perkembangan. Salah satu indikasinya adalah semakin banyak pihak yang menyadari dan mau kembali pada pertanian yang ramah lingkungan. (Kompas, 28 Juni 2011)